Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Sabtu, 24 November 2012

Mengunjungi Telaga Sarangan, Menikmati Pantai Pasir Putih


Bertamasya selain sebagai hobi semua orang juga merupakan momen yang pas untuk refreshing. Merefresh otak dari kepenatan segala aktivitas. Saya dan kawan-kawan kelas ASD ’10, pada Sabtu (24 Novenber 2012) bertamasya ke Telaga sarangan, Magetan, kemudian dilanjutkan ke PantaI Pasir Putih di Trenggalek.
Rencana untuk rekreasi ini sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari ketika kami masih semester II, saat itu saya sebagai Kosmanya. Karena ada beberapa hal rencana itu baru terealisasi saat ini. Meskipun demikian saya merasa rekreasi kali ini sangat mengesankan. Selain bisa merekatkan tali emosional antarwarga kelas ASD, juga bisa mengunjungi sekaligus menikmati keindahan alam Indonesia. Bumi pertiwi yang Indah dan Mempesona.
Dalam kelas kami ada 30 Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, sampai berasal dari mancanegara. Mulai dari Pulau Dewata Bali, Probolinggo, Situbondo, Lumajang, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Madura, Mojokerto, Lamongan dan saya sendiri dari Bojonegoro. Yang dari Mancanegara ada 2 Orang, keduanya dari Malaysia. Tidak semua warga ASD bisa ikut berangkat saat itu, dengan alasan ada beberapa kepentingan yang harus diselesaikan. Hanya 24 orang yang ikut.
Kami Berangkat pada Jum’at pukul 23:00 WIB dengan Tiga mobil, Dua Daihatsu Xenia dan satunya Toyota Avanza. Kebetulan saya berada di salah satu Daihatsu Xenia tersebut. Untuk sampai di Magetan rute yang harus kami tempuh adalah Surabaya-Sidoarjo-Mojokerto-Jombang-Madiun-Magetan. Perjalanan ke Magetan kurang lebih kami tempuh selama 6 jam, itu pun karena sering berhenti di SPBU untuk mengisi BBM dan buang air kecil. Sampai di Telaga sarangan sekitar pukul 05:30 setelah mampir Sholat Shubuh di Masjid daerah Madiun. Sayang, Kami tidak sempat melihat Sun Rice. Sebelum masuk di Kawasan Telaga, kami menyempatkan diri berfoto di depan pintu masuk.
Ini merupakan kali pertama saya menginjakan kaki di Magetan. Jujur, ini juga merupakan pengalaman pertama saya mengunjungi Gunung Lawu dan Telaga Sarangan. Ketika sampai di kawasan pegunungan lawu saya merasakan panorama yang beda dari yang biasa saya lihat. Kalau biasanya melihat gedung-gedung bertingkat, saat itu saya melihat pemandangan alam yang memikat. Ketika biasanya merasakan hawa panas di Surabaya, saat itu saya merasakan hawa sejuk di Pegunungan.
Sepintas Suasananya mirip di kawasan Tretes, Pasuruan atau di Pacet Mojokerto. Hanya saja kawasan Gunung Lawu ini jalanannya lebih menanjak dan menguji Adrenalin. Sampai-sampai mobil yang saya tumpangi tidak kuat membawa kami naik dan harus kami dorong. Mobil baru bisa melanjutkan perjalanan setelah  mesinnya dingin.

Telaga Sarangan
Akhirnya kami tiba di Sarangan. Sesampai di telaga sarangan kami disambut dengan hawa dingin yang merasuk tubuh. Saya agak kecewa, karena airnya surut hanya terlihat dangkal sekali. Menurut penuturan seorang kawan Sarangan akan terlihat indah ketika airnya sampai diatas. Meskipun demikian, tidak mengurangi kebahagian saya melihat keindahan Alam ini. Gunungnya, suasananya, hawanya, dan sebagainya semakin memahamkan dan meyakinkan saya betapa agung dan menakjubkannya ciptaan Allah SWT.
Setelah turun dari mobil kami langsung menuju ke tepi telaga untuk berfoto-foto. Sebenarnya saya berniat dan kepingin naik kapal Boat mengelilingi Telaga, namun saya urungkan. Hanya kawan-kawan cewek yang saat itu berkenan naik. Saya lebih memilih duduk sambil memandangi orang yang sedang mamancing di samping grojogan air di sebelah Timur.
Setelah puas dengan panorama telaga, kami hendak ke Air Terjun, namun sayang, lagi-lagi kami urungkan. Selain tempatnya jauh, jalannya pun setapak, kami diharuskan membeli tiket masuk seharga Rp. 7.000. Kawan-kawan memutuskan untuk tidak naik dengan pertimbangan medannya jauh, bayar lagi, sedangkan perjalanan harus kami lanjutkan. Eman sebenarnya, jauh-jauh sampai sana namun tidak menikmati air terjun. Mungkin lain kali akan saya coba berkunjung lagi ke sana. Menurut saya Magetan memang mengesankan dan layak untuk menjadi jujukan wisata.

Mampir di Babadan, Ponorogo  
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasir Putih, Trenggalek, kami mampir terlebih dahulu di Babadan Ponorogo, di salah satu rumah kawan kami, Afwan Romdloni. Sampai disana sekitar pukul 09:30 WIB. Setiba disana kami disambut hangat oleh senyum dan keramahan orang tuanya, kemudian dipersilahkan duduk ditempat yang telah disediakan. Sebenarnya kami takut merepotkan, namun dengan alasan silaturrahmi di rumah kawan, akhirnya kami sempatkan untuk mampir.
Tanpa menunggu lama kami langsung disuguhi dengan aneka macam makanan. Ada mangga, Krupuk dan Jajananan lainnya serta disuguhi dengan menu sarapan. Namun sayang, saya tidak mencicipi, karena saat itu saya sedang berpuasa Asyuro, tanggal 10 Muharram.
Sekitar pukul 11:30 kami beranjak dari Babadan. Seperti layaknya keluarga besar kami foto bersama keluarga afwan di depan rumahnya.

Pantai Pasir Putih, Trenggalek
Setelah melewati perjalanan lama yang melelahkan, akhirnya kami tiba di Pantai Pasir Putih. Tiba disana Pukul 14:30 WIB. Perjalanan menuju pasir putih saya akui sangat menguji adrenalin. Jalanannya yang berkelok-kelok, menanjak dan licin membuat kami berulang kali berdo’a, membaca sholawat agar perjalanan kami selamat sampai disana.
Setiba disana, terbayar sudah kelelahan saya saat di mobil. Memandangi panorama pantai dan pemandangan alam yang berkesan membuat rasa lelah saya seolah-olah hilang. Saya juga melihat ada bangkai kapal di tengah laut, konon itu adalah bekas kapal asing yang ditemukan melabuh di Laut Selatan.
Tanpa menunggu lama, saya langsung mendekat dan merasakan asinnya air laut. Awalnya saya sendirian berada di pantai sebelah utara yang berbatu. Melepas celana jin dan hanya mengenakan celana Boxer dan Kaos lengan panjang saya langsung mencebur ke laut, disambut dengan desiran ombak yang membahana menyapu tubuh saya ke bebatuan. Tanpa saya sadari Lutut dan Jempol saya robek oleh runcingnya batu. Namun tak terasa sakitnya karena terbasuh oleh kandungan yodium air laut.
Dengan tanpa menghiraukan rasa perih saya berbaur dengan kawan-kawan di sebelah selatan. Saling kejar-kejaran dan melempar pasir kami lakukan. Saya merasakan kenikmatan tersendiri di sini. Kenikmatan bisa bercanda ria bersama kawan-kawan di pantai, selain itu dapat berfoto dalam berbagai pose. Loncat dengan berteriak, berkacak pinggang, dan tentunya dengan melebarkan senyum termanis.
Puas dengan suasana pantai, kemudian saya membersihkan pasir-pasir yang ada di badan dengan mandi di MCK yang tersedia di pinggir pantai. Disana tertera, Mandi Rp. 3.000 Kencing dan Cuci Muka Rp. 2.000. Saya mandi dan harus merogoh kocek Rp. 3.000.
Sekitar Pukul 16:00 kami beranjak dari Trenggalek menuju Surabaya. Sebelumnya mampir terlebih dahulu di Masjid terdekat untuk sholat yang belum telaksana. Saat itu kawasan Prigi sedang turun hujan, saya harus berlari-lari kecil untuk menuju masjid.
Selamat tinggal pasir putih, mungkin cukup sekali saja saya mengunjungimu.
Kau terlalu jauh dan berliku, membuat saya tak bernafsu untuk berkunjung selanjutnya.
Kau telah memberiku kenang-kenangan yang membekas di Lutut dan Jempolku.
Itu Bukan berarti saya tidak suka denganmu.
Ini hanya sebuah pengakuan bahwa kau adalah ciptaan Tuhan yang mengesankan.

Perjalanan pulang tidak kalah melelahkan, selain hujan kami harus menepuh jalan yang licin dan bergelombang. Tentunya membuat Adrenalin kami kembali teruji. Perjalanan pulang kami tempuh sekitar 8 jam setelah sebelumnya mampir makan pecel di Tulung Agung. Sebelumnya saya berbuka puasa di mobil dengan hanya makan roti dan beberapa camilan serta dilegakan dengan Minum Fruit Tea. Tentunya ini merupakan pengalaman yang tak terlupakan bersama kawan-kawan ASD ’10.
Tiba di Surabaya tengah malam. Saya menaruh tas, kemudian Sholat dan menulis catatan ini selesai pukul 02:20 Dini hari. Sungguh ini adalah Pengalaman Berharga bagi perjalanan hidup saya.

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, Pukul 02:20 WIB, 25 November 2012.

Malam Hari di Frontage Road JX


Ngopi menjadi budaya trend bagi anak muda saat ini. Anak muda yang tidak suka ngopi dianggap ketinggalan zaman dan dicap sebagai anak yang jadul, katrok, ndeso, dll. Ngopi selain sebagai obat ngantuk ternyata menjadi alternative tersendiri untuk menghilangkan penat. Bagi mahasiswa ngopi merupakan momen nyaman untuk sekedar berdiskusi bersama teman.
Di Surabaya terdapat banyak tempat ngopi jujukan para remaja. Salah satunya di kawasan JX International atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jatim Expo. Sepanjang Frontage Jl. Ahmad Yani itu setiap malam ramai dikunjungi para remaja yang hendak ngopi sambil diskusi atau hanya untuk berpacaran.
Sejak matahari tenggelam, Frontage yang tepat di seberang Gedung Graha Pena itu disulap layaknya pasar malam. Para pedagang Kaki Lima (PKL) penjaja warung kopi dadakan pun sibuk menyiapkan lapaknya. Ada yang sudah siap sejak Asyar. Ada juga yang baru siap setelah adzan maghrib dikumandangkan. Pokoknya, setiap senja menjelang, ramailah sepanjang jalan itu. Apalagi ketika lapangan Jatim Expo ada event-event besar, seperti konser musik, pasar rakyat, atau yang lainnya, tidak perlu menunggu waktu lama, pasti pengunjung akan menyemut.
Kondisi seperti ini tentu menjadi sumber rizki bagi warga setempat. Bagi tukang parkir setidaknya mampu meraup rizki lebih dari Rp.100.000/harinya. Bagi pemilik warung apalagi, omset setiap malamnya mencapai ratusan ribu rupiah.
Tempatnya memang mengesankan. Sambil berdiskusi dengan beberapa teman atau hanya berduaan dengan kekasih Anda dapat menyaksikan lalu lalang kendaraan yang tak pernah sepi. Anda dapat menikmati suasana alam bebas. Anda juga dapat menguji nyali, karena tempatnya hanya berjarak beberapa meter dari Rel Kereta Api. Ketika kereta api lewat, siap-siaplah menutup telinga, hidung atau menutup mata. Belum lagi akan dihibur oleh berbagai pengamen jalanan dengan bermacam-macam jenis genre musik, jadi siap-siap juga membawa uang receh.
Anda yang lagi penat dengan berbagai masalah, tidak ada salahnya untuk menikmati panorama ngopi di Jatim Expo. Saran saya jagalah etika, jagalah kebersihan dan jangan sampai larut malam.

Muhammad Ali Murtadlo, Ketua I AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidik Misi) IAIN Sunan Ampel Surabaya

Minggu, 11 November 2012

Ahmad Wahib: Aktivis, Pluralis yang Mati Muda


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Seorang filosuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. (Soe Hok Gie)

Ketika membincangkan Ahmad Wahib saya tergoda untuk membandingkan dengan Soe Hok Gie. Menurut pandangan para ahli sejarah keduanya adalah eksponen dari manusia-manusia baru yang hidup di era pasca kemerdakaan. Yakni hidup di dekade 60-an.
Dalam banyak hal keduanya tidak berbeda meskipun dalam banyak hal pula keduanya dibawa nasib ke tempat yang berbeda. Ahmad wahib lahir pada tanggal 9 Nopember 1942, Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dua-duanya adalah aktivis mahasiswa. pemikir, dua-duanya menekuni secara setia catatan harian, memberikan komentar hampir tentang segala jenis peristiwa dari agama, filsafat sampai politik. Dua-duanya mengalami nasib yang sama, yakni mati muda.
Namun ada perbedaan lingkungan yang menentukan antara keduanya. Ahmad wahib lahir dalam lingkungan santri di Sampang, Madura, suatu prototip lain dari kehidupan pedesaan yang kering, tempat orang pulang pergi ke kota-kota besar di Indonesia, karena kebanyakan penduduknya merantau. Sedangkan Soe Hok Gie lahir dan dibesarkan di Jakarta, tempat semua pergulatan hidup yang besar, yang kecil dan yang dekil, yang mendidik dan yang licik, semua tipe kehidupan lengkap ada di sana.
Untuk mengenal lebih dalam sosok Ahmad Wahib bisa kita lakukan dengan membaca buku Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES:1981) atau lebih mudahnya kunjungi http://ahmadwahib.com. Buku tersebut berisikan pergulatan, doktrin, dan realitas sosial, pandangan Ahmad Wahib tentang pluralitas agama di Indonesia. Buku itu sama sekali bukan buku ilmiah. Seperti layaknya Catatan Sang Demonstran-nya Soe Hok Gie, buku ini merupakan sebuah catatan harian tentang pelbagai masalah yang dipikirkan Wahib yang merupakan refleksi atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi umat Islam, bangsa Indonesia, sekaligus diri Ahmad Wahib sebagai pribadi. Lewat catatan hariannya yang kontroversial inilah, Wahib banyak mencetuskan gagasan menarik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia.
Tokoh Pluralisme
Mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Ahmad Wahib kita akan mengetahui bahwa wahib adalah salah satu pembaru pemikiran islam. Salah satu intisari pemikiran Wahib dalam pembaruan pemikiran Islam adalah wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan. Wahib memiliki jawaban kuat mengapa sebagian umat Islam tidak toleran terhadap agama lain. Ini karena, menurut Wahib, kita tidak memiliki kedewasaan beragama ketika berinteraksi dengan kelompok agama lain. Yang terjadi justru tindakan diskriminatif.
Dalam hal pluralisme agama, Wahib menyuarakan pentingnya menumbuhkan inklusivitas agama—suatu komitmen yang secara terbuka menerima agama-agama lain yang ada di Indonesia. Menurut Djohan Effendi, Islam memang sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah bagian dari ajaran agama Islam. Dengan demikian, membela kebebasan beragama dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman (Prisma 5, Juni 1978: 16)
Secara prinsipil, apa yang dikemukakan Djohan Effendi tak jauh berbeda dengan pandangan Ahmad Wahib yang menekankan pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah menurutnya yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati dan perilaku.
Seperti inilah kira-kira pergolakan pemikiran Wahib tentang pluralisme. “Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia”. Sebuah pernyataan bijak dalam menyikapi segala bentuk perbedaan.
Sayang, Ahmad Wahib harus meninggal di usia muda. Pada 31 Maret 1973, ia  mengembuskan nafas terakhir pada usia 31 tahun akibat ditabrak pengendara motor tepat di depan tempat kerjanya: kantor majalah Tempo.
Terlepas dari semua itu, kita sebagai generasi muda sudah seharusnya sadar. Apa yang sudah kita hasilkan sampai saat ini. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Soe Hok Gie pada kalimat pembuka diatas, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Lebih baik mati muda dari pada mati tua tapi tidak menghasilkan apa-apa.

*) Mahasiswa Jurusan Ahwalus Syakhsiyah (AS/V), Alumni At-Tanwir Bojonegoro, tinggal di aldomurtadlo.blogspot.com

Jumat, 09 November 2012

Mengukir Kenangan dalam Kebersamaan (Pengalaman Mengikuti AICIS)


          Rabu, 07 November lalu saya bersama kawan-kawan Ambisi menghadiri acara AICIS (Annual International Conference On Islamic Study). Acara tersebut bertempat di Empire Palace Hotel, Surabaya. Sebenarnya acara ini sudah berlangsung sejak 5 November lalu, mala mini adalah malam puncak, malam penutupan. Kami berangkat pukul 17:00 WIB, bersama kira-kira 80 anak dengan berbagai latar belakang dan niat berbeda-beda.
AICIS merupakan agenda tahunan yang dihelat oleh Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI. Tahun ini bekerjasama dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara yang dihadiri oleh kalangan intelektual dari berbagai Perguruan Tinggi Islam di Indonesia itu terlihat begitu mewah. Dengan tempat begitu nyaman, fasilitas mendukung, dan pelayanan terjamin membuat acara kondusif dan pastinya eksklusif.
Bagi saya menghadiri acara yang bertempat di Hotel Bintang Lima serta bertaraf International merupakan kebanggaan tersendiri. Meskipun bukan merupakan peserta aktif, setidaknya bisa menikmati jalannya acara, dan menikmati segala fasilitas layaknya peserta penuh. Bisa menikmati sajian makanan, minuman dan berbagai hidangan lainnya. Seperti raja dalam semalam, ungkapan itu kira-kira yang cocok untuk saya khususnya, dan bagi kawan-kawan Ambisi pada umumnya.
Satu Jam Bersama Dahlan Iskan
Selain itu, yang paling berkesan adalah saya bisa bertemu langsung dengan Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN, yang saat itu menjadi pemateri dalam seminar terbuka. Pak Dahlan merupakan tokoh favorit saya dan jutaan masyarakat Indonesia. Bukan sekedar bertemu, bahkan saya berdampingan langsung ketika beliau menandatangani pakta anti plagiarisme di atas kain putih yang memanjang di depan ruangan. Meskipun harus berdesak-desakan dengan wartawan saya berusaha untuk lebih dekat dengan beliau.
Ketika memasuki ruangan, saya pun ikut mengekor di belakangnya, namun tidak sampai di depan, hanya di tengah-tengah. Kemudian saya bergegas mencari tempat duduk. Saya duduk di deretan kursi yang sebenarnya khusus untuk para dosen-dosen, guru besar dan orang top lain. Tapi tidak masalah, tidak ada yang mengusir saya.
Ketika Pak Dahlan naik ke podium sontak ruangan ramai oleh suara tepuk tangan. Tepuk tangan semakin riuh saat beliau memulai menyampaikan seminar terbuka. Bagi saya yang membuat istimewa adalah kesederhanaan, kewibawaan, kharismatik, komitmen dan optimitas dari beliau sungguh sangat besar.
Saat itu beliau menceritakan perjalanan hidup dari kecil sampai sekarang, menjadi Menteri BUMN. Sedikit banyak saya sudah paham mengenai perjalanan hidup beliau waktu kecil sampai dewasa lewat novel Sepatu Dahlan. Dari sepatu dahlan itu saya mendapat suntikan semangat, optimis bahwa orang miskin bukan berarti harus selalu menderita. Lulusan MA bukan menjadi alasan untuk tidak bisa menjadi orang sukses. Menyimak perjalanan hidup P. Dahlan membuat saya semakin yakin suatu saat nanti saya akan meraih kesuksesan seperti beliau.
Dari kisah pak Dahlan setidaknya mampu menginspirasi semua orang yang benar-benar mempunyai harapan. Pak dahlan menjelaskan bahwa kehidupannya berubah semenjak beliau merantau ke Samarinda, setelah beliau lulus MA. Beliau pun memberi tips bahwa merantau adalah kunci kesuksesan. Merantau merupakan momentum besar untuk lepas dari belenggu masa lalu. Dengan merantau itu terputuslah hubungan apapun, beban social, dan akan lepas dari romantisme masa lalu, termasuk lepas dari cinta.
Meskipun dari keturunan pesantren beliau tidak mau menjadi Kyai. Karena beliau keturunan pesantren dari pihak ibu tentunya tidak patut untuk menggantikan menjadi kyai. Yang lebih berhak meneruskan estafet pesantren adalah keturunan dari pihak ayah. Untuk itu dari pada nantinya menjadi mantan kyai akhirnya beliau memutuskan untuk merantau. Terbukti dengan merantau sekarang beliau bisa menjadi Menteri BUMN.
Beliau membayangkan, seandainya dulu tidak merantau paling-paling hanya bisa menjadi kepala desa. Jabatan itu sudah termasuk wah, seukuran orang kampung. Seandainya tidak merantau mungkin saat ini sudah menjadi suami dari cewek kampung yang dulu dekat dengan beliau, dst. Intinya, dengan merantau akan mendapat ganti yang lebih baik. Seperti apa yang dikatakan Imam Syafi’I (Syaafir Tajid Iwadlon Amman Tufarikuhu).
Ketika kuliah di IAIN Samarinda, beliau masuk dalam sebuah organisasi Pergerakan Islam. Bahkan pernah mencalonkan sebagi ketua pimpinan pusat pada saat itu. Namun akhirnya kalah dengan lawannya. Beliau pun sering diskusi dengan kawan-kawannya pada saat itu mengenai banyak hal. Salah satunya tentang, kenapa setiap sekolah yang terbaik pasti katholik, setiap Rumah sakit terbaik pasti dari katholik, surat kabar terbaik pun punyanya khatolik, namun mereka tampaknya tidak bisa menemukan titik temu.
Berawal dari “Ruuhul Jihad” untuk menjadikan Surat kabar terbaik adalah milik orang islam, akhirnya beliau mulai menggeluti dunia Jurnalistik. Beliau aktif di Ikatan Pers Mahasiswa pada saat itu. Awal karier beliau All Out tidak diganggu dengan apapun, termasuk ganguan dari kekalahannya mencalonkan sebagai Pimpinan Pusat Sebuah organisasi pergerakan Islam. Dan itu akhirnya terbukti beliau berhasil menjadi wartawan Tempo, dan bahkan mampu menjadi Direktur Utama Jawa Pos Group (Koran terbesar) sampai saat ini, dan menjadi Big Bos di JP Group. Dan ditengah kesibukannnya menjadi menteri, beliau masih menulis yang setiap hari senin dimuat di Manufacturing Hope (MH) Jawa Pos. Tulisannya pun tidak sembarang tulisan, namun enak dibaca dan mengena. Saya menjadi pembaca setia tulisan-tulisan beliau.
Acara semakin seru saat beliau memaparkan ke optimisannya, bahwa 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi Negara Maju. Indonesia akan mengalahkan spanyol, Italia, Prancis, Jepang, Tiongkok dll. Optimitas itu bukan hanya sekedar omongan, dengan bukti pertumbuhan Indeks Ekonomi Makro Indonesia yang mengalami kenaikan setiap tahunnya. Lihat saja sekarang, berapa banyak mobil yang memadati jalan raya, sampek terjadi kenacetan setia harinya. Bisa jadi, 5 tahun kedepan jumlah mobil akan menjadi 2x lipat jumlah mobil sekarang.
Untuk menjadi Negara maju, akan menjadi keniscayaan bagi Indonesia. Caranya harus dengan by design, by kesadaran. Dengan cara memetakan SDM yang ada di Indonesia. Berapa persen sarjana tehnik, berapa persen sarjana geologi, berapa persen pula sarjana akuntasi dan sarjana-sarjana lain agar ada kesinambungan saling membangun di bidangnya masing-masing. Jangan-jangan Indonesia saat ini sedang over di sarjana social, itu yang harus dipecahkan.
Ada 136 juta penduduk Indonesia yang sudah mempunyai fikiran untuk maju. mereka sudah tidak lagi memikirkan besok akan makan apa, minggu depan akan makan apa, lebaran tahun depan bisa beli baju baru atau tidak. Mereka sudah tidak lagi mikir tentang itu. yang mereka fikirkan adalah masa depan. Besok harus bisa membeli motor baru, mobil baru, bahkan membeli rumah baru, dll. Itu yang mereka fikirkan. Sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja, bekerja dan bekerja.
Namun masih banyak jebakan untuk merealisasikan hal itu. Jebakan utama adalah masalah birokrasi. Tidak dapat dipungkiri birokrasi merupakan kendala utama. Bisa jadi para elite dan politisi di senayan tidak menginginkan Indonesia menjadi Negara maju, karena akan mengganggu posisinya sebagai elite birokrasi yang boleh dibilang “Dancuk”, kata arek suroboyo. Akan tetapi, jika memang elite dan politisi tidak menginginkan Negara Indonesia menjadi negara maju, 136 Juta penduduk tadi akan terpaksa maju. Demikianlah yang dapat saya paparkan ulang dari pemaparan Pak Dahlan.
Seminar selesai, pak Dahlan pun meninggalkan tempat. Selama kurang lebih satu jam yang penuh makna menurut saya. Mudah-mudahan terulang di lain kesempatan dan mampu membuat saya beroptimis untuk mengikuti jejak-jejak beliau dalam meraih kesuksesan.
Acara dilanjutkan dengan penutupan dan pemberian penghargaan kepada pemakalah  terbaik. Kemudian ditutup dengan penampilan Tim Paduan Suara IAIN Sunan Ampel Surabaya. Serta foto bersama kawan-kawan Ambisi. Hmmm.. Kebersamaan penuh kenangan.

Muhammad Ali Murtadlo
Surabaya, 09 November 2012

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India