Sebaik-baik Manusia Adalah Orang yang Bermanfaat Bagi Sesama (H.R Buchori Muslim)
“Hidup adalah perjalanan waktu dan perpindahan tempat. Kapan pun dan di mana pun kita berada, haruslah memberi manfaat bagi sesama, karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Learn, Share, Success! (Muhammad Ali Murtadlo)”

Rabu, 26 Desember 2012

Merajut Asa di Bawah Menara



Saya baru saja menyaksikan Film Negeri 5 menara pada Sabtu malam Minggu (08 Desember 2012) selesai tepat pukul 00:30 dinihari. Saya menontonnya bukan beramai-ramai di Bioskop melainkan sendirian di tempat saya tingal. Maklum saya tak berduit sehingga menonton film di Bioskop saja saya tak mampu. Apa boleh buat saya menunggu saja ada DVD yang sudah tersebar dan tinggal Copy paste atau download saja lewat imternet.
Untuk membaca novelnya sudah saya khatamkan sebelum novel ini difilmkan. Bahkan saya sudah khatam seri keduanya, Ranah 3 Warna. Awalnya saya tahu Novel itu dari teman yang saat itu sedang berada di Surabaya, (dia pernah juga kuliah di kampus saya sekarang, namun dengan beberapa kendala akhirnya dia mengambil cuti). Dia saat itu sedang mencari tempat menginap untuk semalam, karena esoknya akan berkunjung di rumah sanak keluarganya di Surabaya. Karena kemalaman dan saat itu pas turun hujan akhirnya dia minta tolong ke saya untuk bisa menginap di tempat saya.
Dengan ditemani rintik hujan Dia bercerita banyak tentang kisah hidupnya. Singkat cerita dia melihat kertas yang berisikan tulisan saya yang dimuat di Media. Lalu dia merekomendasikan sebuah novel ini agar dapat memotivasi saya untuk intens dalam kepenulisan. Memang betul dengan membaca novel ini saya merasa termotivasi. Seakan-akan sayalah pemeran utamanya yang dapat meraih kesuksesan bisa berada di Canada, Amerika berkat tulisan yang pernah dimuat di media.
Namun saya sedikit kecewa dengan film ini. Apa yang ada di film ternyata tidak sepenuhnya menceritakan kisah terpenting dalam novelnya. Seperti saat si alif belajar menulis kepada seniornya yang dididik serba keras, atau saat dramatisasi wajtu penghukuman, atau saat pertandingan sepakbola dengan kiai said. Momen menarik itu tidak terekam dalam film tersebut. Meskipun demikian dengan menonton Film itu saya tetap merasa termotivasi untuk terus dan terus semangta menjalani hidup untu merais cita-cita demi kesuksesan. Intinya Man Jadda Wa jadda.
Setelah menonton film itu saya jadi teringat dengan kawan Ambisi. Bertempat di bawah menara masjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampel yang biasa kami jadikan tempat merajut asa. Ya, setiap kamis sore kami berkumpul di sini, bersama kawan-kawan Ambisi untuk mengisi sore denga kajian kepenulisan.
Ambisi merupakan komunitas para pemimpi, komunitas para cendekiawan yang bermimpi besar, meskipun dalam keterbatasan. Ambisi inilah yang menjadi wadah kami untuk merajut mimpi, dan berproses menuju kesuksesan. “Keterbatasan bukan lagi penghalang untukmu wahai sang pelopor perubahan” seperti itulah kira-kira cuplikan lirik Mars Ambisi yang merupakan pendobrak semangat bagi kami.
Di bawah menara masjid yang mengilhami kami untuk membentuk komunitas seperti yang ada di N5M, Negeri 5 Menara.  Bahkan lebih dari itu. Kami terus bermimpi untuk menjadi aktor utama dalam sebuah kesuksesan. Kesuksesan yang bertumpu pada proses bukan pada pencapaian tanpa proses. Kami yakin tak ada kesuksesan yang diraih tanpa kerja keras. Mustahil kesuksesan akan dicapai tanpa usaha yang mumpuni. Selain usaha kita juga butuh do’a. Pepatah mengatakan usaha tanpa do’a adalah sombong, do’a tanpa usaha adalah bohong.
Masa depan kita masih panjang. Kehidupan pun menawarkan berbagai macam kemungkinan, Mungkin bahagia, mungkin sengsara, mungkin gagal dan mungkin bergelimangan kesuksesan. Tapi saya yakin kesuksesan itu akan tercapai. Kebahagiaan itu akan teraih selagi kita memupuk diri dengan penuh keoptimisan. Mudah-mudahan mimpi itu tak sebatas hayalan. Mari kawan, Semangat meraih impian !

Selasa, 25 Desember 2012

Mengomentari Boleh Tidaknya Berijtihad



Senin malam selasa kemaren (24/12) saya mengahdiri Halaqoh Ilmiyah yang diadakan oleh HAMASS (Harokah Mahasiswa Alumni Santri Sidogiri) dengan tema “Mendewakan Madzahibul Arba’ah”. Saya hadir atas nama IPNU IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Memang menarik mengikuti seminar keagamaan seperti ini. Selain mendapat penyegaran paradigma berfikir dan menambah wawasan, juga bisa menjadi pengisi waktu luang daripada melamun sendirian di Kost. Apalagi tempatnya di Masjid akan mendapat pahala dan barokah lebih.
Pematerinya tidak tanggung-tanggung. Alumni Sidogiri yang S1-nya ditempuh di Universitas Islam ternama di Timur Tengah, Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebelum materi disampaikan, dengan membaca identitas pemateri saya jadi berfikiran pasti diskusi nanti bakalan menarik, dan penuh dengan perang pemikiran. Mengingat paradigma berfikirnya jebolan Al-azhar, biasanya cenderung liberal dalam menyikapi hukum islam, apalagi tema yang diangkat cukup menarik, “Mendewakan Madzahibul Arba’ah”. Dan peserta yang hadir mayoritas adalah warga Nahdliyin.
Ternyata benar dugaan saya. Banyak peserta yang tidak sejalan dengan apa yang disampaikan. Dalam pembicaraan mengenai ijtihad pemateri cenderung menggampangkan dan meremehkan soal ijtihad. Dia mengatakan bahwa pintu ijitihad masih terbuka lebar, dan kita tidak harus selalu bertaqlid buta dengan Madzahibul Arba’ah. Boleh bagi kita untuk berijtihad sendiri. Toh, jika ijtihad kita salah akan mendapat pahala satu, dan jika benar mendapat 2 kali lipat.
Menanggapi dan mengkritisi pemaparan pemateri, saudara Muhammad, Lc itu menjadi keharusan bagi kita. Dia mengutip perkataan Yusuf Qordhowi bahwa untuk menjadi mujtahid di masa sekarang jauh lebih mudah daripada menjadi mujtahid dimasa lalu. Ulama’ dulu memburu hadist satu saja, harus menempuh jarak bermil-mil. Sekarang cukup klik google atau di maktabah syamilah sudah muncul kitab-kitab yang diinginkan.
Memang dari segi mudah dan sulitnya menggali hukum islam dari sumber utama, Qur’an dan Hadist di masa sekarang jauh lebih mudah. Dengan kecanggihan tekhnologi segala sesuatu dapat teratasi cukup dengan mengklik. Namun apakah itu akan rasional jika kita membandingkan dari segi kualitas keilmuwan antara Ulama’ sekarang dengan ulama’ dahulu. Tentu tidak. Kita pasti memahami bahwa ulama’ sekarang tidak ada apa-apanya jika dibanding ulama’ salaf dahulu dalam hal keilmuwan, kewira’ian, kesholihan, kataqwaan dan sebagainya. Maka menganut apa yang sudah diijtihadkan ulama’ terdahulu akan menjadi lebih baik untuk menghindari kesesatan.
Dualisme Pendapat
Permasalahan ini sangat menarik untuk kita bahas, karena sebagaian ulama telah mngklaim bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan untuk saat ini seorang mujtahid sudah tidak bisa lagi ditemukan. Pendapat ini muncul karena di zaman sekarang ini, sebagaimana penuturan Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dipicu karena banyaknya orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid. Bahkan yang lebih heran lagi, mereka mengklaim bahwa dirinya sama seperti Imam Syafi'I, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah al-Nu'man. Padahal syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama tidak terpenuhi dalam diri mereka.
Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab.
Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi.
Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku.
Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak).
Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun.
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab itu mendapat tanggapan. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." [H.R. Muslim].
Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." [H.R. Abu Dawud dan yang lainnya]. Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT.

Jalan Tengah
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak.
Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak.
Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."  
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak menguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah.
Terlepas dari penjelasan diatas, saya tidak setuju dengan ungkapan Ibnu thaimiyah yang mengatakan: “Barang siapa yang mengatakan harus taqlid pada madzahibul arba’ah, maka ia harus cepat-cepat diperintahkan bertaubat dan jika ia tidak mau mencabut ucapannya, maka ia harus dibunuh”. Lebih baik taqlid dari pada membuat hukum baru yang justru sesat dan menyesatkan. Bukankah demikian?

Minggu, 16 Desember 2012

Pemimpin yang Abnormal


Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*)
Publik kembali digentarkan dengan ulah pejabat yang kontroversial. Setelah terkuaknya kasus korupsi oleh beberapa oknum pejabat, kali ini digegerkan dengan kabar pernikahan kilat yang dilakukan Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Bupati yang tak bermoral itu pun didemo masyarakat Garut untuk mundur dari jabatannya.
Menyaksikan sikap pejabat publik yang demikian, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada pemimpin. Saat ini jelas sudah bahwa tindakan para pemimpin kita tidak lagi mencerminkan sikap teladan. Sebagai pemimpin seharusnya memberi teladan baik (uswah hasanah) kepada yang dipimpin, bukan malah mempertontonkan sikap yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini penulis mengatakan pemimpin sudah dalam kondisi abnormal. Yakni kondisi dimana pemimpin sudah jauh menyimpang dari kondisi yang sewajarnya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Tentu kita miris dan gusar dengan sikap public figure yang seperti itu. Sepertinya kita memang benar-benar telah mengalami krisis kepemimpinan. Seseorang yang menjabat pemerintahan tentu memiliki tanggung jawab yang besar sebagai penyelenggara negara. Seharusnya mereka harus sadar bahwa rakyatlah yang memilihnya. Suara rakyatlah yang menjadikan mereka menikmati jabatan, maka tidak sepantasnya mereka mencederai jabatan dengan kesewenang-wenangan.
Dalam kasus pernikahan kilat Bupati Garut itu, Rakhmat Hidayat (2012) mencatat ada beberapa alasan mengapa masyarakat begitu geram dengan kasus itu. Pertama, penistaan posisi perempuan dalam relasi sosial kuasa seorang penyelenggara negara. Pernikahan yang hanya berlangsung empat hari disertai dengan talak melalui pesan singkat tentu saja memberikan luka mendalam bagi kaum perempuan. Perempuan berada pada posisi yang termarjinalkan. Tidak heran jika kalangan perempuan mengecam keras perilaku Bupati Garut yang menempatkan perempuan ibarat komoditas yang bisa dimanfaatkan kapan saja, dan dibuang kapan saja.
Kedua, pada posisi yang lebih mendasar adalah ihwal terdegradasikannya etika publik seorang pejabat dalam relasi sosial politik. Etika publik menjadi persoalan krusial dalam posisi Aceng sebagai bupati. Ini bukan lagi soal privasi seorang bupati, tetapi sudah bergeser ke ranah publik karena otoritas politik yang melekat pada seorang Aceng Fikri.
Penulis menilai tindakan yang dilakukan Bupati itu merupakan sifat peremehan terhadap tindakan sepele. Seseorang yang menjadi public figure tidak sepantasnya melakukan hal-hal yang ceroboh, sekecil apapun itu. Mungkin Aceng bisa mengelak dan beralasan bahwa pernikahan kilat itu adalah masalah pribadinya. Mau bertindak apa saja, terserah dia. Namun jangan dinafikan bahwa ranah pribadi dan ranah publik sangat tipis batasnya. Bahkan, ranah pribadi sering kali hilang dalam otoritas politik seorang pejabat negara. Seandainya pernikahan siri dan perceraian kilat itu dilakukan oleh penjual bakso, atau tukang pijat mungkin akan mudah terselesaikan melalui jalur kekeluargaan. Namun ini beda, pernikahan siri dan perceraian kilat tersebut dilakukan oleh public figure, yang berstatus pemimpin pula, tentu tidak semudah itu.
Wahai Pemimpin, Tirulah Muhammad SAW
Seharusnya para pemimpin meniru corak kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. Pada prinsipnya, pola kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad mengacu kepada empat sifat yang biasa kita sebut sebagai sifat wajib seorang rasul; yakni jujur (sidiq), dapat dipercaya (amanah), menyampaikan (tabligh), dan cerdas (fatanah). Keempat sikap tersebut diimplementasikan oleh Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai rasul maupun ketika menjadi kepala negara.
Kejujuran sudah pasti menjadi kunci utama kesuksesan seorang pemimpin. Mustahil orang yang selalu berbohong mampu membawa perubahan bagi bangsanya. Jujur di sini adalah keselarasan antara ucapan dan tindakan nyata, serta komitmennya terhadap kepemimpinan yang sedang diembannya. Dalam kata lain, pemimpin harus mempunyai integritas yang tinggi.
Sifat dapat percaya merupakan sifat wajib bagi seorang pemimpin. Orang yang sekali saja melakukan kesalahan (tindakan tercela) sudah barang tentu kepercayaan publik akan hilang. Ia akan dicap sebagai penjahat, meskipun kejahatan itu dilakukan hanya sekali, dan tanpa disengaja sekalipun.
Begitu pun dengan sikap yang ketiga, tabligh (menyampaikan). Jika dalam konteks kenabian makna tabligh terbatas pada penyampaian Nabi Muhammad atas semua ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada umat-Nya. Namun, dalam konteks kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, tabligh dapat dimaknai sebagai bentuk penyampaian seorang pemimpin atas amanah konstitusi Negara. Penyampaian amanah konstitusi misalnya, menjaga kesejahteraan rakyat, keadilan, dan keamanan Negara. (Masduri:2012).
Sikap tabligh merupakan implementasi dari kedua sikap sebelumnya, yakni sidik dan amanah. Pemimpin yang jujur dan amanah pasti akan tabligh, sebab tabligh merupakan dampak dari kedua sikap tersebut.
Yang terakhir adalah fatanah (cerdas). Seorang pemimpin yang ideal juga harus memiliki kategori ini, cerdas. Sikap cerdas atau bisa dikatakan menjadi modal dasar bagi siasat seseorang dalam memimpin masyarakatnya. Misalnya, kecerdasan dalam menyejahterakan rakyat, kecerdasan dalam menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, kecerdasan dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara dari ancaman luar, kecerdasan dalam memberantas tindak korupsi serta kecerdasan dalam menempatkan diri tidak berbuat ceroboh dan tidak senonoh.
Keempat sikap tersebut telah terbukti mampu membawa Nabi Muhammad sukses dalam memimpin¸ baik sejak beliau di Madinah atau pascapembukaan Kota Mekah (fathul Makkah), di mana saat itu kekuasaan Islam terus berkembang. Bahkan, Nabi Muhammad tidak butuh waktu lama. Hanya butuh sebelas tahun beliau mampu menaklukkan seluruh jazirah Arab.
Selain keempat sikap itu tentu masih banyak sikap bijak lainnya sebagai bumbu yang mampu memaniskan kepemimpinan yang pernah dicapai Nabi Muhammad; seperti sikap pemberani, tegas, berpendirian kokoh, respek dan memahami kebutuhan masyarakat.
Mungkin ada yang berdalih: Nabi Muhammad adalah manusia yang dipilih oleh Allah SWT. Nabi Muhammad memiliki sifat ma’shum (terhindar dari dosa). Namun, mari sekarang kita posisikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara atau pemimpin bangsa, beliau adalah manusia biasa. Pada posisi itu beliau juga sama seperti manusia atau pemimpin pada umumnya, kemungkinan untuk melakukan tindakan penyimpangan juga ada. Namun, karena Nabi paham posisi dan tanggung jawabnya, ia bisa menjalankan amanahnya sebagai kepala negara dengan baik.
Terakhir, penulis dan jutaan penduduk Indonesia bahkan semua umat manusia berharap para pemimpin dapat berkaca. Berkaca kepada cara dan corak kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Penulis yakin dengan mengimplentasikan ke empat sifat tersebut pemimpin akan sukses memimpin rakyatnya, terutama memimpin Indonesia. Semoga saja bisa. !

*) Guru Pembimbing IMTAQ di SMP Dharma Wanita, Surabaya.

Mempertanyakan Kejelasan Pelaksanaan UAS


Oleh: Muhamad Ali Murtadlo*)
Ujian Akhir Semester (UAS) menjadi agenda rutin setiap menjelang semester berakhir. UAS menjadi sangat penting karena merupakan evaluasi dari pembelajaran yang dilakukan selama satu semester. UAS juga menjadi penentu lulus tidaknya seorang mahasiswa dalam mengikuti proses perkuliahan. Tentu menjadi sangat tidak efektif jika UAS dilaksanakan tanpa ada kejelasan waktu dan jadwal yang jelas.
Di lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya, kampus yang (katanya) tercinta ini. UAS akan dilaksanakan menjelang akhir tahun 2012. Tahun yang diisukan menjadi tahun terakhir bagi kelangsungan hidup manusia di Bumi ini. Pasalnya, Bangsa Maya meramalkan bahwa tahun 2012 adalah tahun terakhir dalam penanggalan hitungan mereka. Bumi akan mengalami proses pemurnian dan selanjutnya peradaban manusia akan berakhir dan mulai memasuki peradaban baru. Saya tidak hendak memperbincangkan terjadinya kiamat, toh kiamat adalah hak mutlak Tuhan. Melainkan melalui tulisan ini saya hendak menanyakan kejelasan pelaksanaan UAS semester ganjil ini, khususnya di Fakultas Syariah.
Semester ini, pelaksanaan UAS di Fakultas Syariah, menurut berita yang beredar diserahkan kepada dosen pengampu mata kuliah masing-masing. Tentu menjadi sangat tidak masuk akal. Kemanakah fungsi pimpinan, dalam hal ini bagian akademik? Mereka seolah-olah melepaskan tanggung jawab dalam hal penyusunan jadwal. Jika yang menjadi alasan adalah pembongkaran gedung, tentu tidak bisa diterima. Pasalnya renovasi gedung A baru dilaksanakan setelah semester ini berakhir.
Pihak pimpinan seharusnya memikirkan dampak dari keputusan itu. Apakah bisa efektif pelaksanaan UAS dengan cara menyerahkan kepada dosen pengampu. Mungkin para dosen menganggapnya, itu merupakan “angin segar”, karena mereka bisa menentukan jadwal UAS kapanpun sesuai keinginan. Tapi bagi mahasiswa itu merupakan “angin tak sedap”, karena ada sebagian dosen yang menentukan jadwal UAS pada hari Libur Minggu Tenang (LMT). Tentu itu menyalahi aturan, karena LMT adalah waktu untuk menenangkan fikiran dan merupakan waktu persiapan untuk menghadapi UAS.
Memang dalam surat edaran dari pimpinan tertera bahwa UAS dilaksanakan mulai 26 Desember 2012 s.d 09 Januari 2013, tapi faktanya tidak demikian. Banyak dosen yang “memaksa” untuk melaksanakan UAS sebelum tanggal itu. Tentu itu merupakan “tamparan” bagi mahasiswa, karena bagaimanapun juga UAS butuh persiapan, butuh waktu untuk belajar.
Mungkin saya bukan satu-satunya mahasiswa yang menggusarkan hal ini. Semua mahasiswa yang merasa punya “akal sehat” pasti risau dengan posisi seperti ini. Di satu sisi mereka ingin berlibur atau rekreasi di hari LMT tapi karena ada dosen yang “memaksa” untuk UAS, mereka mengurungkan niatnya. Ini merupakan perlakuan diskriminatif karena LMT adalah hak mahasiswa untuk berlibur.
Fakultas hukum seharusnya tahu aturan, tahu hak dan kewajiban, bukan seenaknya sendiri membuat aturan.  Buat apa kalender akademik dibuat jika ujung-ujungnya tidak ditaati. Buat apa akademik dibuat jika jadwal UAS tidak disusun. Tentu itu menjadi tidak relevan dengan sebutan Fakultas hukum yang berisi ahli-ahli hukum namun faktanya banyak yang melanggar aturan.
Seharusnya pelaksanaan UAS dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang diatur oleh akademik bukan diserahkan ke dosen masing-masing. Jika demikian artinya pimpinan sudah menafikan tugas akademik. Dengan alasan apa pihak pimpinan mengambil keputusan seperti itu? Karena sekali lagi, jika hanya alasan pembongkaran gedung, itu tidak bisa diterima.
Sudahlah, saya tidak ingin berkepanjangan memikirkan hal itu. Toh, seribu kali pun saya berontak pasti tidak akan digubris dan pelaksanaan UAS akan tetap diserahkan kepada dosen masing-masing. Namun saya sebagai mahasiswa syariah, tentunya rindu. Rindu akan ketertiban birokrasi. Rindu akan kesejahteraan. Rindu akan berbagai hal yang bisa membuat saya bangga dengan Fakultas yang saat ini saya jadikan tempat belajar.
Kalau boleh jujur sebenarnya bukan hanya pelaksanaan UAS ini saja yang menjadi masalah di Fakultas Syariah. Seperti yang sering kita alami di setiap menjelang awal semester, pasti terjadi ketidakjelasan jadwal mata kuliah. Ujung-ujungnya jadwalnya dirubah dan lagi-lagi mahasiswa yang jadi korbannya.
Bahkan, yang paling miris adalah ketika ujian skripsi. Menurut penuturan salah seorang dosen senior, ada beberapa mahasiswa yang tidak mampu menjawab pertanyaan penguji, lantaran dosen pembimbingnya tidak sesuai dengan kompetensi judul skripsi yang diangkat. Sungguh ini memprihatinkan. Seharusnya pihak pimpinan tidak serta merta meng-acc judul skripsi yang sekiranya tidak ada dosen yang berkompeten di bidang tersebut.
Dosen pembimbing harus sesuai dengan kompetensi dalam judul skripsi. Misalnya, skripsi tentang ilmu falak, dosen pembimbingnya harus yang berkompeten di bidang falak, bukan diberikan pembimbing yang kompeten di bidang hukum tata negara atau yang lainnya. Sehingga mahasiswa benar-benar bisa menguasai apa yang menjadi titik fokus permasalahan dalam skripsi itu. Saya rasa jika itu diterapkan, tidak ada lagi mahasiswa yang ketakutan saat ujian skripsi dan sampai ditolak skripsinya saat ujian.
Saya tidak menafikan prestasi-prestasi atau sesuatu yang membanggakan yang telah ditorehkan oleh Fakultas Syariah. Saya juga tidak hendak menyalahkan salah satu orang, atau salah satu pihak. Ini adalah kewajiban kita semua, Mahasiswa, Sema, Dosen, Pegawai, Dekan, dan semua yang sekiranya terlibat di Fakultas ini adalah para civitas akademika yang bertanggung jawab dalam pembenahan Fakultas ini. Untuk bapak pimpinan yang terhormat (Dekan, Pembantu Dekan dan Staf-stafnya) tolong fikirkan progresifitas Fakultas ini kedepan. Mudah-mudahan Dekan terpilih selanjutnya mampu menahkodai Fakultas (tercinta) ini ke arah yang lebih baik. Semoga !

*) Mahasiswa yang rindu akan prestasi dan ketertiban birokrasi fakultas Syariah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India